Masih tetap bertahan pada keyakinan bahwa Allah tidak
menciptakan dua hati dalam satu rongga dada, meski sangat mungkin satu hati
dapat memiliki dua rasa yang saling bertolak dalam waktu bersamaan. Kadang dua
rasa saling membunuh agar dapat bertahan walau belum tentu yang bertahanlah
yang menang. Sakit dan bahagia memang dua rasa yang amat sangat berbeda tapi
sesekali kita lupa bahwa kita baru merasa bahagia setelah sakit dan kita tak
akan pernah merasa sakit jika tak pernah bahagia. Nikmatilah keduanya seperti
alunan tinggi rendah nada yang mencipta harmonisasi kesyahduan lengkap dengan
liriknya yang sarat makna, walau harus mengorbankan satu rasa untuk rasa yang
lain.
Bahkan ada keadaan yang lebih mungkin dari itu, memiliki dua
rasa yang persis untuk objek yang berbeda dengan takaran yang berbeda pula.
Kalimat ini memang rumit dan menggelitik tapi tak perlu berpikir ekstra untuk
memahaminya. Karena kesederhaannya terletak pada kebijakan hati untuk
menentukan pilihan menurut apa yang baik di mata Allah, bukan menurut apa yang
baik dimata kita.
Sebenarnya kedua keadaan di atas tak ada kaitannya secara
langsung. Ya, tidak ada. Tapi kalau kita jeli mungkin bisa ditangkap maknanya
yang tersirat.
Kembali lagi.
Seperti yang
kubilang tadi. Satu rasa harus dikorbankan untuk rasa yang lain. Walau sedikit
tak berkeprikehatiaan tapi ridho orang tua adalah ridho Allah, untuk sekarang!
Dengan sedikit
tidak bisa menjaga perasaan orang lain, Bismillah akhirnya aku membuat gesekan
dan retakan pada bumi yang sudah kering. Tinggal menunggu keikhlasan hujan saja
untuk membasahinya. Ku arungi lagi yang cukup lama berfatamorgana dibalik
bayangaannya. Berharap ada keridhoan yang bisa diraih dari jalan ini. Namun
hanya berjedah sedetik, tak ada hujan petir menyambar.
Dan…
Memang benar hidup
bukan lah permainan karma, tapi sering kita temui apa yang kita beri itu lah
yang kita terima. Memberi sakit kita menerima sakit, pun memberi senyum kita
menerima senyum.
Tak sebentar, aku
pernah menoreh itu pada kalian. Tapi cukup sampai di situ saja tak perlu
dijabarkan kenapa?.... Dan memang ya, sakit terbalas sakit. Baru terbayangkan
olehku, betapa beratnya dunia yang kau geluti selama ini. Berada di simpang
jalan yang jika dilalui begitu terjal, untuk kembali pun akan sia-sia. Ok, sekarang
kita mainkan lagi drama ini untuk kedua kalinya dengan menukar peran. Dalami karakter
dan cari tahu apa yang diinginkannya. Namun ternyata kau tak serumit aku,
mungkin karena durasi yang jauh berbeda jadi tak bisa dikembarkan. Cukup dengan
dua kerat tawa dan berpura-pura tidak waras kuyakini semuanya akan baik-baik
saja. Tak usah menyulitkan diri, bahkan ini keburuntungan lain. Tetaplah
menatap ke depan dengan gelak tawa beserta
kegilaannya itu, sambil meninggalkan secara perlahan puing-puing sejarah yang
terukir rapi. Sampai akhirnya mereka benar-benar menjadi sahabat kita sahabat sampai
tua sedangkan kita, IMAM DAN MAKMUM .
08032013
(YL)
-------------------------------------------------@Contekan@---------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan walau setitik tinta