Sabtu, 11 Mei 2013

Aku dalam Lingakaran Keduanya ( Part 1)



Jam di note book menunjukkan angka 00.14 WITA, mata belum terlelap padahal penglihatan sering memburam dengan air yang membening di permukaanya lalu berkumpul di ujung mata tanpa aliran, dan setitik demi setitik pun jatuh tanpa sensasi. Ini bukan menangis karena tak ada yang perlu ditangisi. Sebab sekarang Ia mendekapku. Ku rasakan betul kehangatan itu, sungguh tak ada dekapan selembut ini. Damai, aman, dan indah. Tsunami sekalipun takkan kusegani jika ia menghantam. Tapi sayang seribu bahkan sejuta kali sayang terkadang pelukanNya tak erat, bahkan sesekali lepas. Bukan kerenaNya, melainkan aku yang tak setia, selalu membagi cinta dengannya dan dengannya.
Telah banyak waktu ku habiskan bersama yang lain dalam lingkaran dunia beserta keharaman cintanya. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun bahkan berlipat-lipat lagi.
Pertama dengannya, sejak jiwa masi kosong. Ku tanam, ku siram, ku taburi penyubur lalu ku jaga. Tumbuhlah ia menjadi taman indah dengan sekuntum bunga, dalam setangkai beragam warna terlukis yang tak luput dari kumbangnya. Menyenangkan buatku dan mengesankan untuk mereka yang melihat. Sungguh tak ada ruang hati untuk yang lain, semua terpenuhi. Pelajaran berharga pertama yang kadang bahkan sangat sulit ku terapkan. Sekarang ini.
Sesekali duakali dalam putaran iklim, gersang menelungkup diatas kelopak sebab hidayahNya sering menyapa dengan alasan lain membungkus,  aku dengannya baiknya berpisah mesti untuk kembali tidak diharamkan. Cukup lama namun kembali kumerajut dengannya, karena ruang dan waktu mempertemukan kami kembali dalam perjuangan senada, menuntut ilmu. Entah apa dan kenapa? Aku terpikat dengannya. Aku terikat lagi dengannya. Aku dengannya. Padahal sudah bagus aku sendiri meniti dalam Rezeki imanNya. Lagi, aku menginjakkan kaki dalam lingkaran syaitan itu bahkan kini mulai terasa panasnya.
Aku menggunting lagi ikatan itu, dengannya tak ada apa-apa dan bukan siapa-siapa sebabnya karena khianat, Karena ada dermaga menawarkan keindahannya yang sudi ku mampiri. Kulakoni lagi. Seminggu lalu sebulan cukup kuselami karakternya, sedikit hambar kurasa. Tanpa berpikir panjang walau sedikit ada pergolakkan, kembali kutempatkan posisiku di sampingnya yang masi menunggu dengan pengharapan beserta kesakitan karenaku. Kali ini lebih dalam, dalam dan dalam lagi kurasa kasih dan setianya. Selalu setia itu yang kulihat darinya. Sempat terpikir cukup, tak ingin terulang. Bukankah kurangnya menjadi kelebihanku dan kurangku menjadi kelebihannya. Kunci hatinya telah kupegang, bagaimana pun ia telah ku pahami. Sungguh, Alangkah indah jika yang pertama menjadi terakhir. Lirih hati. Aku mengenal Robb pun darinya tepatnya dari saudaranya, hingga aku mengenal baik agamaku. Sedangkan ia masih awam dalam addinnya. Ku niatkan ingin merubahnya, menghiasnya dengan pernak-pernik keislaman yang syar’i. namun, hidayah sepertinya belum mampir di hatinya, dalam kepayahan aku masih disampingnya. Tidak menyerah walau kadang seskali terkilir jatuh dalam jurang bersamanya.
Suatu waktu kalau tak salah tahun 2011, esemes masuk di ponselku. Dengan tenang ku baca. Ternyata esemes itu dari temannya temanku. Yang tak ku tahu bagaimana ia, gambaran sedikit pun tentangnya kosong. Tanpa basa basi dia mengatakan ingin mengenalku lebih dekat, tanpa bertanya ini dan itu. Mungkin dia sudah tahu tentangku, mungkin. Dengan jujur, panjang lebar dia menguraikan dari mana ia mendapatkan nomorku. Sekali, duakali esemesnya ku balas, namun selebihnya tak ku gubris lagi. Itulah aku pada saat itu, masih berkarib dengan kesetiaan.
Sampai akhiranya berbulan-bulan, ia sama sekali tak ku hiraukan, hilang, lenyap. Mungkin dia lelah, karena aku tak ingin banyak tahu tentangnya. Esemes dan teleponnya kulayani sekedarnya. Ketika dia menghilang pun, aku rasa tak ada yang berbeda bahkan aku lupa dengannya.
Seperti biasa, rajut kasih tetap kukaitkan. Sampai tahun berganti tahun. Aku dengannya terlibat dalam obrolan sengit yang awalnya hanya sebuah candaan, gurauan dalam kemanjaan. Hatiku sedikit tertusuk, lumayan sakit. Aku dongkol, mungkin karena perempuan terlalu perasa. Aku tak ingin berkomunikasi dengannya sementara waktu apalagi bertemu.
Tak tahu kepada siapa ku bawa hati ini, adakah yang sudi menghibur?. Iseng-iseng ku buka akun facebookku, dan kulihat ada beberapa pesan. Lagi-lagi laki-laki itu, tapi kali ini ku rasa pesannya lebih berani lagi. Dia berungkap benar-benar ingin mengenalku, dan rasa itu benar-benar menguasainya tanpa terbendung, dia bilang rasa ini bukan yang pertamakali tapi ini terlalu hebat. Aku tersenyum kecil membacanya, apa ia seperti itukah? Sedangkan aku disini tak tahu apa-apa. Akhirnya ku cari namanya di daftar nama ponselku, masih ada tak kuhapus. Lalu ku layangkan pesan, dibalas dan sesekali dia menelepon. Tanpa tersadar, aku tersenyum bahkan sering tertawa lepas ketika biacara dengannya. Sungguh menyenangkan. Nyambung. Dan ini tak ku dapat dari yang sebelumnya. Tak butuh waktu lama, kutemukan ia sebagai sosok yang berpegang teguh pada agamanya. Waw bukankah ini lengkap. Tak jarang ia menasihatiku, memberi masukan dengan kelemahlembutan. Ku rasa dia peduli dengan agamanya dan sedikit banyak dia punya ilmu. Jilbabku yang dulu panjang, naik sedikit demi sedikit sampai tak menutupi dada kini ku ulurkan lagi. Hmm sejuk rasanya.
Singkat cerita aku mulai menyukainya, entah sejak kapan rasa itu ada. Namun di sisi lain, aku juga masih dengan yang…, oh apa-apaan ini. Tapi kenapa dia tak keberatan?. Alasannya (bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan walau setitik tinta