Jam di note book
menunjukkan angka 00.14 WITA, mata belum terlelap padahal penglihatan sering
memburam dengan air yang membening di permukaanya lalu berkumpul di ujung mata tanpa
aliran, dan setitik demi setitik pun jatuh tanpa sensasi. Ini bukan menangis
karena tak ada yang perlu ditangisi. Sebab sekarang Ia mendekapku. Ku rasakan
betul kehangatan itu, sungguh tak ada dekapan selembut ini. Damai, aman, dan
indah. Tsunami sekalipun takkan kusegani jika ia menghantam. Tapi sayang seribu
bahkan sejuta kali sayang terkadang pelukanNya tak erat, bahkan sesekali lepas.
Bukan kerenaNya, melainkan aku yang tak setia, selalu membagi cinta dengannya
dan dengannya.
Telah banyak waktu ku
habiskan bersama yang lain dalam lingkaran dunia beserta keharaman cintanya. 1
tahun, 2 tahun, 3 tahun bahkan berlipat-lipat lagi.
Pertama dengannya,
sejak jiwa masi kosong. Ku tanam, ku siram, ku taburi penyubur lalu ku jaga.
Tumbuhlah ia menjadi taman indah dengan sekuntum bunga, dalam setangkai beragam
warna terlukis yang tak luput dari kumbangnya. Menyenangkan buatku dan
mengesankan untuk mereka yang melihat. Sungguh tak ada ruang hati untuk yang
lain, semua terpenuhi. Pelajaran berharga pertama yang kadang bahkan sangat
sulit ku terapkan. Sekarang ini.
Sesekali duakali dalam
putaran iklim, gersang menelungkup diatas kelopak sebab hidayahNya sering
menyapa dengan alasan lain membungkus,
aku dengannya baiknya berpisah mesti untuk kembali tidak diharamkan.
Cukup lama namun kembali kumerajut dengannya, karena ruang dan waktu
mempertemukan kami kembali dalam perjuangan senada, menuntut ilmu. Entah apa
dan kenapa? Aku terpikat dengannya. Aku terikat lagi dengannya. Aku dengannya. Padahal
sudah bagus aku sendiri meniti dalam Rezeki imanNya. Lagi, aku menginjakkan
kaki dalam lingkaran syaitan itu bahkan kini mulai terasa panasnya.
Aku menggunting lagi
ikatan itu, dengannya tak ada apa-apa dan bukan siapa-siapa sebabnya karena
khianat, Karena ada dermaga menawarkan keindahannya yang sudi ku mampiri.
Kulakoni lagi. Seminggu lalu sebulan cukup kuselami karakternya, sedikit hambar
kurasa. Tanpa berpikir panjang walau sedikit ada pergolakkan, kembali
kutempatkan posisiku di sampingnya yang masi menunggu dengan pengharapan
beserta kesakitan karenaku. Kali ini lebih dalam, dalam dan dalam lagi kurasa
kasih dan setianya. Selalu setia itu yang kulihat darinya. Sempat terpikir
cukup, tak ingin terulang. Bukankah kurangnya menjadi kelebihanku dan kurangku
menjadi kelebihannya. Kunci hatinya telah kupegang, bagaimana pun ia telah ku
pahami. Sungguh, Alangkah indah jika yang pertama menjadi terakhir. Lirih hati.
Aku mengenal Robb pun darinya tepatnya dari saudaranya, hingga aku mengenal
baik agamaku. Sedangkan ia masih awam dalam addinnya. Ku niatkan ingin
merubahnya, menghiasnya dengan pernak-pernik keislaman yang syar’i. namun, hidayah
sepertinya belum mampir di hatinya, dalam kepayahan aku masih disampingnya.
Tidak menyerah walau kadang seskali terkilir jatuh dalam jurang bersamanya.
Suatu waktu kalau tak
salah tahun 2011, esemes masuk di
ponselku. Dengan tenang ku baca. Ternyata esemes
itu dari temannya temanku. Yang tak ku tahu bagaimana ia, gambaran sedikit
pun tentangnya kosong. Tanpa basa basi dia mengatakan ingin mengenalku lebih
dekat, tanpa bertanya ini dan itu. Mungkin dia sudah tahu tentangku, mungkin.
Dengan jujur, panjang lebar dia menguraikan dari mana ia mendapatkan nomorku.
Sekali, duakali esemesnya ku balas,
namun selebihnya tak ku gubris lagi. Itulah aku pada saat itu, masih berkarib
dengan kesetiaan.
Sampai akhiranya
berbulan-bulan, ia sama sekali tak ku hiraukan, hilang, lenyap. Mungkin dia
lelah, karena aku tak ingin banyak tahu tentangnya. Esemes dan teleponnya kulayani sekedarnya. Ketika dia menghilang
pun, aku rasa tak ada yang berbeda bahkan aku lupa dengannya.
Seperti biasa, rajut
kasih tetap kukaitkan. Sampai tahun berganti tahun. Aku dengannya terlibat
dalam obrolan sengit yang awalnya hanya sebuah candaan, gurauan dalam
kemanjaan. Hatiku sedikit tertusuk, lumayan sakit. Aku dongkol, mungkin karena
perempuan terlalu perasa. Aku tak ingin berkomunikasi dengannya sementara waktu
apalagi bertemu.
Tak tahu kepada siapa
ku bawa hati ini, adakah yang sudi menghibur?. Iseng-iseng ku buka akun
facebookku, dan kulihat ada beberapa pesan. Lagi-lagi laki-laki itu, tapi kali
ini ku rasa pesannya lebih berani lagi. Dia berungkap benar-benar ingin mengenalku,
dan rasa itu benar-benar menguasainya tanpa terbendung, dia bilang rasa ini
bukan yang pertamakali tapi ini terlalu hebat. Aku tersenyum kecil membacanya,
apa ia seperti itukah? Sedangkan aku disini tak tahu apa-apa. Akhirnya ku cari
namanya di daftar nama ponselku, masih ada tak kuhapus. Lalu ku layangkan
pesan, dibalas dan sesekali dia menelepon. Tanpa tersadar, aku tersenyum bahkan
sering tertawa lepas ketika biacara dengannya. Sungguh menyenangkan. Nyambung.
Dan ini tak ku dapat dari yang sebelumnya. Tak butuh waktu lama, kutemukan ia
sebagai sosok yang berpegang teguh pada agamanya. Waw bukankah ini lengkap. Tak
jarang ia menasihatiku, memberi masukan dengan kelemahlembutan. Ku rasa dia
peduli dengan agamanya dan sedikit banyak dia punya ilmu. Jilbabku yang dulu
panjang, naik sedikit demi sedikit sampai tak menutupi dada kini ku ulurkan
lagi. Hmm sejuk rasanya.
Singkat cerita aku
mulai menyukainya, entah sejak kapan rasa itu ada. Namun di sisi lain, aku juga
masih dengan yang…, oh apa-apaan ini. Tapi kenapa dia tak keberatan?. Alasannya (bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan walau setitik tinta