Alasannya klise, karena
ikatan ini tak ada dalam agama, jadi kenapa harus merasa memiliki. Dia
menguraikannya sebagai orang yang baru dan untuk pertamakalinya jatuh cinta. Ku
mengerti, karena dia belum paham betul tentang rasa dan ini pengalaman
pertamanya. Akhirnya kuberjalan diatas dua roda. Inilah yang kumaksud tidak
mungkin terdapat dua hati dalam satu rongga dada. Tapi nyatanya ada rasa yang
sama bahkan terukur rapi. Ada saat satu lebih dari yang satu, tapi itu
bergantian, berganti lagi dan terus berganti. Kemudian hati kedua mulai merasa
terkoyak, ternyata ini tak selaras dengan yang pernah dilontarkan, terlalu
perih, sakit, meremukkan jiwa raga kira-kira itu gambarannya, sering berakhir
tapi selalu bisa terjalin lagi, dia begitu kuat. Tapi aku, masih berdiri di
tempat yang sama dalam dua hati. Walau kasar mungkin aku bisa dibilang jahannam,
yang satu tersakiti sedangkan yang satu terdustai. Ups kejam memang. Sampai
akhirnya lelah menghampiri, sampai kapan akan seperti ini? Ya Allah, berikan
ketegasan dalam diri agar bisa menentukan yang harus ditentukan.
Hampir setahun berlalu,
kondisi itu menggrogotiku. Belum bisa kumaknai rasa yang ada, sebenarnya untuk
siapa?.kestiaan itu kini asing bagiku. Tiba-tiba masalah dulu kembali mencuat.
Ayah bunda berucap lagi, alangkah baiknya aku tidak dengan yang pertama karena
tidak terlalu baik, itu menurutnya. Sedangkan yang kedua aku dikira bergurau,
tak serius dan mereka menyodorkan pilihannya. Maaf ayah, bunda bukan aku tak
mengini ridhomu, tapi ini hati tak bisa dibentuk sesukanya, dengan tertatih ku
jelaskan, kutolak walau dengan samar-samar karena tak berani. Walau sebelumnya
sempat ku membuka pintu untuk mencoba namun komunikasi mengisyaratkan aku tak
bisa melebur dengannya. Sampai pilihan itu membuyar, dan hanya meninggalkan
bayangan terhias torehan kenangan pahit.
Tapi, karena ayah bunda
ku kuatkan alasan untuk menyudahi cinta pertamaku. Maaf, sayang harus jalan ini
yang kutempuh. Ku tahu kau terluka lagi karena sebab yang tak kau perbuat. Sekarang
aku dengannya, hanya dengannya, dengan bayangan yang selalu bersembunyi namun
kini telah nyata adanya.
Tanpa ku tahu, tak ada
pirasat ternyata kau sempat mengenal yang lain. Dia indah, baik sepertimu. Itu yang
kutangkap dari gambarnya ketika kau sempat bercerita. Orang baik untuk yang
baik bukan?. Mereka sesara, sekiranya tak akan sulit mencocokkan diri. Dan terpenting
rasa itu, ADA, sepertinya. Sesungguhnya ingin ku ikhlaskan, ingin kulihat dia
bahagia dalam bahagia yang sebenarnya. Tapi, hati tak rela, tak bisa, haruskah
ikhlas ini kupaksakan?. Namun, dia terlalu pandai meyakini, semua baik-baik
saja. Ucapannya, Kata-katanya, dan guyonan itu selalu berhasil membuatku
menilai hidup jangan dipersulit.
Ku berjalan lagi
dengannya, dalam keindahan ikatan jahiliyah seperti itu dia menyebutnya. Namun,
mungkin dia tidak tahu bayang-bayang cinta pertama itu sering menghantui
tidurku. Belum lagi mereka yang sering menyebut-nyebut namanya. Karena angka 9
terlalu lama dan manis untuk bisa kami tapaki. Kapan aku bisa tak ingat
dengannya dengan baik dan benar. Kuatkan aku ya Robb dalam pendirian ini.
Tak adakah lingkaran
lain yang bisa mengalihkan perhatianku, selain lingkaran keduanya. Lingkaran keduanya
dengan cinta yang sama besar, sama tulus, susah untuk ditimbang. Aku tak ingin
bermain dengan perasaan dan aku tak ingin pula perasaan mempermainkanku.
Kala hati dirundung
kegalauan, kadang terpikir kubiarkan saja meraka berlalu. Sedangkan ku di sini
dengan Robbku, hanya denganNya. Ingin kubiarkan ia dengan perempuan indah itu,
dan ia dengan kehidupannya dalam pencarian dan pendakian hidupnya untuk menemukan
Robnya. Hingga mereka bahagia tanpa aku.
Karena ku rasa telah
banyak waktu kuhabiskan dengan cinta manusia, sedangkan untuk Nya tak begitu. Ingin
sepenuhnya pengabdianku kupersembahkan padaNya, untuk cintaNya. Sekaranglah waktunya
untuk berbenah, meninggalkan segala keserakahan. Sudah waktunya ku menguatkan
diri dalam kesendirian. Menjaga diri, untuk senyum yang akan kau hadiahkan. Menjaga
diri, bukan hanya darinya, dari dia tapi juga darimu, sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan walau setitik tinta